Senin, 13 Desember 2010

Sintesis senyawa kompleks

MODUL IX

A. JUDUL :
“SINTESIS SENYAWA KOMPLEKS”
B. TUJUAN :
Setelah melakukan percobaan dan pengamatan pada praktikum ini, mahasiswa diharapkan dapat:
 Mengamati warna ion beberapa logam transisi
 Mensintesis senyawa kompleks
 Menentukan kekuatan relative ligan dan membandingkan kestabilan beberapa kompleks.

C. DASAR TEORI
Unsur-unsur transisi adalah unsur logam yang memiliki kulit elektron d atau f yang tidak penuh dalam keadaan netral atau kation. Unsur transisi terdiri atas 56 dari 103 unsur. Logam-logam transisi diklasifikasikan dalam blok d, yang terdiri dari unsur-unsur 3d dari Sc sampai Cu, 4d dari Y ke Ag, dan 5d dari Hf sampai Au, dan blok f, yang terdiri dari unsur lantanoid dari La sampai Lu dan aktinoid dari Ac sampai Lr. Kimia unsur blok d dan blok f sangat berbeda. Bab ini mendeskripsikan sifat dan kimia logam transisi blok d.
Logam transisi memiliki sifat-sifat khas logam, yakni keras, konduktor panas dan listrik yang baik dan menguap pada suhu tinggi. Walaupun digunakan luas dalam kehdupan sehari-hari, logam transisi yang biasanya kita jumpai terutama adalah besi, nikel, tembaga, perak, emas, platina, dan titanium. Namun, senyawa kompleks molekular, senyawa organologam, dan senyawa padatan seperti oksida, sulfida, dan halida logam transisi digunakan dalam berbagai riset kimia anorganik modern.

Struktur Kompleks Logam
a. Atom pusat
Sifat logam transisi blok d sangat berbeda antara logam deret pertama (3d) dan deret kedua (4d), walaupun perbedaan deret kedua dan ketiga (5d) tidak terlalu besar. Jari-jari logam dari scandium sampai tembaga (166 sampai 128 pm) lebih kecil daripada jari-jari itrium, Y, sampai perak, Ag, (178 sampai 144 pm) atau jari-jari, lantanum, sampai emas (188 sampau 146 pm). Lebih lanjut, senyawa logam transisi deret pertama jarang yang berkoordinasi 7, sementara logam transisi deret kedua dan ketiga dapat berkoordiasi 7-9. Cerium, Ce, (dengan radius 182 pm) ~ lutetium, Lu, (dengan radius 175 pm) terletak antara La dan Hf dan karena kontraksi lantanoid, jari-jari logam transisi deret kedua dan ketiga menunjukkan sedikit variasi.
Logam transisi deret kedua dan ketiga berbilangan oksida lebih tinggi lebih stabil dari pada keadaan oksidasi tinggi logam transisi deret pertama. Contohnya meliputi tungsten heksakhlorida, WCl6, osmium tetroksida, OsO4, dan platinum heksafluorida, PtF6. Senyawa logam transisi deret pertama dalam bilangan oksidasi tinggi adalah oksidator kuat dan oleh karena itu mudah direduksi. Di pihak lain, sementara senyawa M(II) dan M(III) umum dijumpai pada logam transisi deret pertama, bilangan oksidasi ini jarang dijumpai pada unsur-unsur di deret kedua dan ketiga. Misalnya, hanya dikenal sedikit senyawa Mo(III) atau W(III) dibandingkan dengan senyawa 117 Cr(III). Ion akua (ion dengan ligan air) sangat umum dalam logam transisi deret pertama tetapi ion yang sama untuk logam transisi deret kedua dan ketiga jarang diamati.
Sifat logam transisi blok d tidak berbeda tidak hanya dalam posisi atas dan bawah di tabel periodic tetapi juga di golongan kiri dan kanan. Golongan 3 sampai 5 sering dirujuk sebagai logam transisi awal dan logam-logam ini biasanya oksofilik dan halofilik. Dengan tidak hadirnya ligan jembatan, pembentukan ikatan logam-logam sukar untuk unsur-unsur ini. Senyawa organologam logam-logam ini diketahui sangat kuat mengaktifkan ikatan C-H dalam hidrokarbon. Logam transisi akhir dalam golongan-golongan sebelah kanan sistem periodik biasanya lunak dan memiliki keaktifan besar pada belerang atau selenium.
Logam transisi blok d yang memiliki orbital s, p, dan d dan yang memiliki n elektron di orbital d disebut dengan ion berkonfigurasi dn. Misalnya, Ti3+ adalah ion d1, dan Co3+ adalah ion d6. Jumlah elektron yang menempati orbital yang terbelah oleh medan ligan (lihat 6.2(a)) disebut dengan pangkat di simbol orbitalnya. Contohnya, suatu ion dengan 3 elektron di t dan 2 elektron di e dinyatakan dengan t3e1.
Senyawa kluster logam karbonil logam transisi deret pertama dengan ikatan M-M dalam bilangan oksidasi rendah dikenal, tetapi senyawa kluster halida atau sulfida jarang. Umumnya, ikatan logamlogam dibentuk dengan lebih mudah pada logam 4d dan 5d daripada di logam 3d. Momen magnet senyawa logam transisi deret pertama dapat dijelaskan dengan nilai spin saja (lihat bagian 6.2(d)) tetapi sukar untuk menjelaskan momen magnet deret kedua dan ketiga kecuali bila faktor-faktor lain seperti interaksi spin-orbital juga dipertimbangkan.
Jadi, penting untuk mengenali dan memahami perbedaan signifikan dalam sifat kimia yang ada antara logam transisi deret pertama dan deret selanjutnya, bahkan untuk unsur-unsur dalam golongan yang sama.

b. Ligan
Senyawa ion logam yang berkoordinasi dengan ligan disebut dengan senyawa kompleks. Sebagian besar ligan adalah zat netral atau anionik tetapi kation, seperti kation tropilium juga dikenal. Ligan netral, seperti amonia, NH3, atau karbon monoksida, CO, dalam keadaan bebas pun merupakan molekul yang stabil, semenatara ligan anionik, seperti Cl- atau C5H5-, distabilkan hanya jika dikoordinasikan ke atom logam pusat. Ligan representatif didaftarkan di Tabel 6.1 menurut unsure 118 yang mengikatnya. Ligan umum atau yang dengan rumus kimia rumit diungkapkan dengan singkatannya.
Ligan dengan satu atom pengikat disebut ligan monodentat, dan yang memiliki lebih dari satu atom pengikat disebut ligan polidentat, yang juga disebut ligan khelat. Jumlah atom yang diikat pada atom pusat disebut dengan bilangan koordinasi.

Struktur Electronik Kompleks
Diperlukan beberapa konsep untuk memahami struktur, spektrum, kemagnetan, dan kereaktifan kompleks yang bergantung pada konfigurasi elektron d. Khususnya, teori struktur elektronik sangat penting.


a. Teori Medan Ligan
Teori medan ligan adalah satu dari teori yang paling bermanfaat untuk menjelaskan struktur elektronik kompleks. Awalnya teori ini adalah aplikasi teori medan kristal pada sistem kompleks.






Kompleks Oktahedral Berbilangan Koordinasi Enam
Lima orbital d dalam kation logam transisi terdegenerasi dan memiliki energi yang sama.









Gambar 6.4 Perubahan energi elektronik selama proses pembentukan kompleks.

Medan listrik negatif yang sferik di sekitar kation logam akan menghasilkan tingkat energi total yang lebih rendah dari tingkat energi kation bebas sebab ada interaksi elektrostatik. Interaksi repulsif antara elektron dalam orbital logam dan medan listrik mendestabilkan sistem dan sedikit banyak mengkompensasi stabilisasinya (Gambar 6.4).









Gambar 6.5 Posisi ligan dalam koordinat Catesius dengan atom logam di pusat koordinat.

Kini ion tidak berada dalam medan negatif yang uniform, tetapi dalam medan yang dihasilkan oleh enam ligan yang terkoordinasi secara oktahedral pada atom logam. Medan negatif dari ligan disebut dengan medan ligan. Muatan negatif, dalam kasus ligannya anionik, atau ujung negative (pasangan elektron bebas) dalam kasus ligan netral, memberikan gaya tolakan pada orbital d logam yang anisotropik bergantung pada arah orbital. Positisi kation logam dianggap pusat koordinat Cartesius (Gambar 6.5). Maka, orbital dx2-y2 dan dz2 berada searah dengan sumbu dan orbital dxy, dyz, dan dxz berada di antara sumbu. Bila ligand ditempatkan di sumbu, interaksi repulsifnya lebih besar untuk orbital eg (dx2-y2, dz2) daripada untuk orbital t2g (dxy, dyz, dxz), dan orbital eg didestabilkan dan orbital t2g distabilkan dengan penstabilan yang sama. Dalam diskusi berikut ini, hanya perbedaan energi antara orbital t2g dan eg sangat penting dan energi rata-rata orbital-orbital ini dianggap sebagai skala nol. Bila perbedaan energi dua orbital eg dan tiga orbital t2g dianggap Δo, tingkat energi eg adalah +3/5Δo dan tingkat energi orbital t2g adalah −2/5Δo (Gambar 6.6). (Δo biasanya juga diungkapkan dengan 10 Dq. Dalam hal ini energi eg menjadi 6 Dq dan energi t2g -4 Dq).

Reaksi Kompleks
Reaksi kompleks diklasifikasikan kedalam reaksi substitusi ligan, reaksi konversi ligan dan reaksi redoks logam. Reaksi substitusi dan redoks khususnya telah dipelajari dengan detil.

a. Reaksi Substitusi Ligan
Reaksi substitusi ligan kompleks

LnMX + Y → LnMY + X

Sangat penting untuk preparasi berbagai turunan kompleks. Kondisi detil ligan dan kompleks yang memungkinkan reaksi ini telah dipelajari untuk memahami stereokimianya dan mencapai laju reaksi substitusi yang praktis. Seperti juga pada jenis reaksi yang lain, kita perlu memahami
kesetimbangan dan laju reaksinya.

b. Konstanta pembentukan
Konstanta kesetimbangan reaksi substitusi ligan disebut dengan konstanta kestabilan atau pembentukan. Konsep dan metoda perhitungan konstanta pembentukan bertahap diusulkan oleh N. Bjerrum (1941). Konstanta kesetimbangan penggantian ion terhidrasi M dengan ligan lain L dalam larutan air adalah














dan konstanta pembentukan overal βn adalah:




Kestabilan termodinamika produk substitusi menjadi lebih besar jika konstanta pembentukannya meningkat. Di pihak lain, pemahaman efek ligan yang keluar, X, dan ligan yang masuk, Y, pada laju substitusi dan spesi senyawa antara yang dibentuk penting untuk mengelusidasi reaksi kompleks logam. Khususnya bermanfaat untuk merangkumkan struktur elektronik logamnya, stereokimia kompleksnya dan korelasi antara parameter yang mewakili sterik senyawa dan laju reaksi. Umumnya mekanisme reaksi dapat diklasifikasikan menjadi mekanisme asosiatif, pergantian dan
disosiatif bergantung pada perbedaan senyawa antaranya (Gambar 6. 26).






Gambar 6.26 Kestabilan senyawa antarae substitusi ligan.

Mekanisme asosiatif Bila laju substitusi ligan kompleks bergantung pada ligan, Y, yang berkoordinasi dengan logam pusat dan tidak sensitif pada ligan yang keluar, X, reaksinya mengikuti mekanisme asosiatif yang meningkatkan bilangan koordinasi. Reaksi substitusi semacam ini sering diamati pada kompleks Pt(II) planar tetra-koordinat, dan spesi senyawa antaranya adalah kompleks penta-koordinat bipiramidal segitiga. Reaksinya akan berorde satu pada baik kompleks tetra-koordinatnya maupun pada Y, dan secara keseluruhan orde kedua. Karena reaksi ini disertai dengan reduksi spesi molekular dalam tahap antara, pengukuran termodinamik reaksi mengindikasikan entropi aktivasi, ΔS, -nya bernilai negatif. Spesi senyawa antara dalam kasus mekanisme asosiatif heksa-koordinat adalah kompleks hepta-koordinat. Mekanisme pertukaran Bila waktu hidup senyawa antara sangat pendek, reaksi berlangsung melalui mekanisme pertukaran, ketika koordinasi Y dan eliminasi X berlangsung bersamaan.
Mekanisme disosiatif reaksi substitusi yang sangat sensitif pada identitas ligan yang keluar, X, dan praktis tidak sensitif pada identitas ligan yang masuk, mengikuti mekanisme disosiatif dengan 162 penurunan bilangan koordinasi di spesi senyawa antaranya. Mekanisme ini sering dijumpai dalam kompleks heksa-koordinat, dan senyawa antaranya adalah kompleks penta-koordinat yang terbentuk dengan eliminasi X. Karena eliminasi diikuti dengan peningkatan spesi molecular dalam tahap senyawa antaranya, aktivasi entropinya, ΔS, bernilai positif.


D. ALAT DAN BAHAN
Gelas kimia Batang pengaduk Pipet tetes




Plat Tetes
Bahan
a. Larutan CuSO4 0,1 M
b. Larutan Co(NH3)2 0,1 M
c. Larutan CoCl2 0,1 M
d. Larutan HCl pekat
e. Larutan NH3 pekat
f. Larutan Etilendiamin
g. Larutan KSCN
h. Larutan NaOH 1 M
i. Aquadest

E. PROSEDUR KERJA

1. Pembuatan Kompleks Kloro dari Ion-ion Tembaga (II) dan Kobalt (II).
- Menempatkan dalam cekungan A1-A3 - Menempatkan pada B1-B3 5 tetes
Pada plat tetes sebanyak 5 tetes + 10 tetes HCl pekat
- + 10 tetes HCl pekat
- Membandingkan dgn warna larutan standar - membandingkan warna larutan
- + aquadest (H2O) - + aquadest (H2O)



2. Pembuatan Kompleks dan Ion Tembaga (Cu)
- Memipet 10 tetes pada cekungan C1-C4
- 5 tetes NH3 pekat - 5 tetes etilen diamin - 5 tetes KSCN
- Membandingkan dgn lrutan - membandingkan - membandingkan
standar


- + 5 tetes NaOH - + 5 tetes NaOH - + 5 tetes NaOH


3. Pembuatan Kompleks dari Ion Kobalt (II)

- Memipet 10 tetes pada cekungan A1-A4

- 5 tetes NH3 pekat - 5 tetes etilen diamin - 5 tetes KSCN
- Membandingkan dgn lrutan - membandingkan - membandingkan
standar

- + 5 tetes NaOH - + 5 tetes NaOH - + 5 tetes NaOH


F. HASIL PENGAMATAN
No Perlakuan Hasil pengamatan
a. Percobaan I
- Menempatkan tetes CuSO4 0,1 M pada plat tetes A1-A3.
- CuSO4 + HCl pekat
- Menempatkan 5 tetes CoCl2 pada plat tetes Bi-B3.
- CoCl2 + HCl pekat
- Larutan berwarna biru pudar

- Larutan menjadi hijau kekuningan
- Larutan berwarna merah muda

- Larutan menjadi biru muda
Penambahan air
- CuSO4 + HCl pekat + H2O
- CoCl2 + HCl pekat + H2O
- Menjadi biru muda (kembali pada warna semula)
- Menjadi merah muda (kembali pada warna semula)
b. Percobaan 2
- CuSO4 + 5 tetes NH3 pekat

- CuSO4 + 5 tetes etilendiamin
- CuSO4 + 5 tetes KSCN
- Tidak ada perubahan warna pada larutan (tetap biru).
- Warna larutan menjadi ungu.
- Warna larutan menjadi kuning.
Penambahan NaOH
- CuSO4 + NH3 pekat + 5 tetes NaOH
- CuSO4 + etilendiamin + 5 tetes NaOH
- CuSO4 + KSCN + 5 tetes NaOH
- Larutan menjadi bening
- Tetap jingga

- Warna biru tampak keruh (ada endapan biru).
c. Percobaan 3
- Co(NO3)2 + 5 tetes NH3 pekat
- Co(NO3)2 + 5 tetes etilendiamin
- Co(NO3)2 + 5 tetes KSCN
- Larutan pink
- Larutan kuning muda
- Larutan menjadi kuning tua dan ada endapan
Penambahan air
- Co(NO3)2 + 5 tetes NH3 pekat + 5 tetes NaOH
- Co(NO3)2 + 5 tetes etilendiamin + 5 tetes NaOH
- Co(NO3)2 + 5 tetes KSCN + 5 tetes NaOH
- Co(NO3)2 + 5 tetes NaOH
- Tidak terjadi perubahan

- Tidak terjadi perubahan

- Tidak terjadi perubahan

- Tidak terjadi perubahan


G. PEMBAHASAN
a. Percobaan I
Prosedur awal yang dilakukan pada percobaan ini adalah menempatkan larutan CuSO4 0,1 M yang berwarna biru muda dan CoCl2 0,1 M yang berwarna merah muda pada cekungan plat tetes A1-A2 untuk CuSO4 dan untuk CoCl2 B1-B2 masing-masing 5 tetes dan A2 dan B2 sebagai larutan standarnya . Pada plat A1 yang berisi larutan CuSO4 ditambahkan dengan asam klorida pekat, ketika ditambahkan dengan asam klorida pekat warna yang semula biru muda berubah menjadi hijau kekuningan, hal ini disebabkan karena CuSO4 sendiri dapat bereaksi dengan HCl membentuk asam sulfat dan tembaga diklorida sebagai hasil sampingnya. Asam sulfat inilah yang menyebabkan warna berubah menjadi hijau kekuningan. Adapun reaksi yang terjadi sebagai berikut:
CuSO4(s) + 2HCl(l) H2SO4(aq) + CuCl2(aq)

A1
A2 Larutan standar
Setelah ditambahkan kembali dengan aquadest (reaksi hidrolisis) warna berubah menjadi ke warna sebelumnya yaitu biru muda. Hal ini disebabkan ketika asam sulfat dan tembaga diklorida ditambahkan dengan aquadest dapat membentuk tembaga sulfat kembali dengan asam klorida dan molekul air sebagai produk sampingnya, yang persamaan reaksinya dapat ditulis sebagai berikut ini :
H2SO4(aq) + CuCl2(aq) + H2O(l) CuSO4(aq) + 2HCl(aq) + H2O(aq)
Selanjutnya pada plat B1 yang berisi larutan CoCl2 ketika ditambahkan dengan asam klorida pekat warna yang semula merah muda berubah menjadi biru muda, hal ini disebabkan CoCl2 dapat bereaksi ketika ditambahkan dengan asam klorida membentuk H2Co dengan gas Cl2 sebagai hasil sampingnya, persamaan reaksinya adalah:
CoCl2(l) + 2HCl(l) H2Co(aq) + 2Cl2(g)

B1
B2 larutan standar


Setelah ditambahkan dengan aquadest larutannya berubah menjadi berwarna merah muda (kembali kewarna sebelumnya). Hal ini disebabkan H2Co dan Cl2 dapat bereaksi dengan air membentuk CoCl2 dengan asam klorida dan air sebagai hasil sampingnya.
H2Co + 2Cl2 + H2O CoCl2 + 2HCl + H2O

b. Percobaan II
Dalam percobaan kedua ini, prosedur awal yang dilakukan adalah menempatkan 10 tetes larutan CuSO4 yang berwarna biru muda pada cekungan plat tetes C1-C4 dan menjadikan larutan pada cekungan C4 sebagai larutan standarnya. Selanjutnya pada cekungan C1 yang berisi larutan tersebut ditambahkan 5 tetes NH3 pekat, ketika telah ditambahkan larutannya tidak berubah (tetap berwarna biru). Hal ini disebabkan karena sifat dari larutan NH3 yaitu basa dan sedikit amfiprotik sehingga menyebabkan larutan tidak berubah warna. selanjutnya pada cekungan C2 ditambahkan etilendiamin yang menyebabkan larutan dapat berubah warna menjadi ungu, hal ini dikarenakan etilendiamin dapat bereaksi dengan CuSO4. Dan pada cekungan C3 ketika ditambahkan dengan larutan KSCN larutan berubah warna menjadi kuning, hal ini disebabkan larutan CuSO4 dapat bereaksi dengan larutan KSCN membentuk senyawa K2SO4 dengan CuSCN sebagai hasil sampingnya.
Selanjutnya pada cekungan C1 dilanjutkan dengan penambahan NaOH yang menyebabkan larutan yang tadinya biru berubah menjadi bening. Hal ini disebabkan sebelumnya pada cekungan C1 telah ditambahkan larutan NH3 yang bersifat basa ditambah dengan NaOH yang bersifat basa juga, sehingga menyebabkan larutan berubah menjadi bening yang bersifat basa kuat (pH>7). Selanjutnya pada cekungan C2 ditambahkan juga dengan NaOH yang menyebabkan larutan tetap berwarna ungu. Kemudian pada cekungan C3 ditambahkan pula NaOH yang menyebabkan larutan berubah warna menjadi biru keru.
Adapun tujuan dari proses penambahan NaOH ini berfungsi menguji kestabilan kompleks dari masing-masing larutan. Karena setelah ditambahkan dengan NaOH hanya larutan pada cekungan C2 yang tidak berubah warna, sehingga dapat disimpulkan larutan pada cekungan C2 memiliki kestabilan kompleks.




c. Percobaan III
Prosedur pada percobaan III ini hampir sama dengan percobaan I dan II. Yang pertama kita lakukan adalah menempatkan larutan Co(NH3)2 0,1 M pada cekungan D1-D4 yang berwarna pink, dan cekungan D4 kita jadikan sebagai larutan standarnya. Pada cekungan D1 ditambahkan dengan 5 tetes NH3 pekat yang menyebabkan larutan tetap berwarna pink. Hal ini disebabkan sifat dari larutan NH3 yaitu basa dan sedikit amfiprotik sehingga menyebabkan larutan tidak berubah warna. Selanjutnya pada cekungan D2 ditambahkan dengan larutan etilendiamin yang menyebabkan larutan menjadi kuning muda. Perubahan ini terjadi karena disebabkan etilendiamin dapat bereaksi dengan Co(NH3)2. Dan pada cekungan D3 ditambahkan dengan larutan KSCN yang menyebabkan larutan menjadi kuning tua dan terdapat endapan seperti gel.
Selanjutnya pada cekungan D1-D3 kita lanjutkan kembali dengan penambahan larutan NaOH yang berfungsi menguji kestabilan kompleks dari ketiga larutan. Pada cekungan D1 setelah ditambahkan dengan NaOH warnya tidak berubah. Pada cekungan C2 larutan tidak ada perubahan. Pada cekungan D3 juga setelah ditambahkan dengan larutan NaOH larutan tidak terjadi perubahan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pada cekungan D1-D3 tidak memiliki kestabilan kompleks, hal ini disebabkan larutan pada cekungan tidak terjadi perubahan.

H. KESIMPULAN
Setelah melakukan percobaan ini Sintesis Senyawa Kompleks praktikkan dapat menyimpulkan bahwa :
Dari setiap larutan (cekungan) setelah ditambahkan denga beberapa peraksi memiliki warna yang berbeda, hal ini disebabkan perbedaan ion yang dimiliki dari setiap senyawa logam transisi.
Ternyata pada percobaan ini kita membadingkan kestabilan kompleks dari setiap larutan setelah ditambahkan dengan larutan NaOH. Yang dapat ditunjukkan tidak berubahnya warna dari larutan setelah ditambahkan dengan larutan NaOH.
Dari percobaan ini pula kita dapat mensintesis senyawa kompleks.

DAFTAR PUSTAKA

F.A. Cotton & G. Wilkinson. 2007. Kimia Anorganik Dasar. Jakarta : Universitas Indonesia
http://www.google.com_Diakses_29_November_2010
Petrucci, Ralph H, 1987, alih bahasa Suminar Ahmadi, Kimia Dasar Prinsip dan Terapan Modern, Jilid 3, Penerbit Erlangga
Team teaching praktikum kimia Anorganik. 2010. Modul Praktikum Kimia Anorganik. Gorontalo : UNG
http://www.Sintesis_Senyawa_Kompleks«Annisanfushie’s_Weblog.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar